JENEPONTO – LIBERNAS.COM | Petani jagung kuning di Kecamatan Tamalatea dan Bontoramba, Kabupaten Jeneponto, mengeluhkan harga jual jagung yang masih jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp5.500 per kilogram. Saat ini, harga jagung di tingkat petani hanya berkisar Rp3.200–3.400 per kilogram, membuat mereka terjepit dalam kesulitan ekonomi.
Ali, salah satu petani di Kelurahan Manjangloe, mengungkapkan bahwa hasil panennya dijual seharga Rp3.300 per kilogram setelah dikeringkan selama lima hari. “Saya tanam bibit sekitar 9 kg, hasilnya 2,2 ton saat ditimbang. Harga segitu tentu masih jauh dari harapan,” ujarnya.
Kondisi serupa terjadi di wilayah lain. Seorang pegiat sosial yang aktif mendampingi petani mengungkapkan bahwa harga jagung di Tamalatea dan Bontoramba juga masih berkisar Rp3.200–3.500 per kilogram. Ia menilai, rendahnya harga ini disebabkan oleh gudang-gudang besar di Makassar yang belum menerapkan HPP Rp5.500.
“Belum lagi ada potongan kadar air yang tinggi dari gudang, sehingga harga semakin merosot. Padahal, harapan petani tidak muluk-muluk, setidaknya Rp4.000–4.500 per kilogram untuk jagung dengan kadar air 28-30%,” jelasnya.
Beberapa gudang besar seperti Pokphand, Malindo, TMM, Jappa, Celebes, Aggrigo, Niohok, dan Tol Intang diketahui masih membeli jagung di kisaran harga Rp4.800–5.000 per kilogram. Perbedaan harga ini membuat petani di Jeneponto semakin dirugikan.
Subair, seorang petani yang menyampaikan keluhan ini dalam Musrenbang dan reses DPRD Provinsi Sulawesi Selatan pada 3 Maret 2025, berharap pemerintah pusat segera turun tangan. “Kami meminta Pak Zulkifli Hasan (Menteri Koordinator Pangan) dan Pak Amran Sulaiman (Menteri Pertanian) untuk benar-benar memperjuangkan harga jagung di tingkat petani,” harapnya.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan dari pemerintah provinsi dan dinas terkait. “Jangan sampai program Presiden Prabowo yang pro-rakyat kecil ini hanya dimanfaatkan oleh pengusaha besar, sementara petani tetap menderita. Jangan biarkan aturan HPP berubah jadi PHP (Pemberi Harapan Palsu) bagi petani,” tegasnya.
Sebagai daerah penghasil utama jagung kuning dalam 7-10 tahun terakhir, Jeneponto bergantung pada hasil panen ini. Jika harga terus merosot tanpa intervensi yang jelas, nasib ribuan petani di daerah ini akan semakin terpuruk.
Akankah pemerintah merespons keluhan petani dengan tindakan nyata? Ataukah mereka hanya bisa pasrah menghadapi permainan harga yang ditentukan oleh pengusaha besar? Waktu yang akan menjawab. (Muh Ikbal)